Berita Terkait
- Kemendiknas / Kemenag Jangan Takut Menurunkan RSBI /SSN/MODEL Jadi Sekolah Standar Biasa Untuk Jambi
- Wajar RSBI Dihapuskan, Karena di Kerinci dan Sungai Penuh Hampir Seperti Kandang Kambing
TB News - Sejumlah kepala sekolah yang berstatus Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Kota Jambi menyetujui dan
menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal
mengenai RSBI.
Kepala SMPN 7 Kota Jambi yang berstatus RSBI Budiyanto memberikan respon positif atas keputusan MK. Menurutnya ke depan sekolah RSBI tidak hanya mengacu kepada standar sekolah tertentu.
"Kalau saat ini memang benar hanya beberapa sekolah yang dibina secara khusus untuk menuju ke taraf internasional, seharusnya semua sekolah seperti itu," katanya.
Menurutnya RSBI memang bisa dikatakan menyalahi konstitusi, karena hanya beberapa sekolah. "Ini menjadi PR berat bagi pemerintah melalui kemendiknas," ujarnya.
Disampaikan Budiyanto, SMPN 7 yang memilki 903 siswa tetap menunggu arahan dari kemendiknas.
Tetapi menjelang datangnya petunjuk teknis, dia berkomitmen untuk menjadikan SMPN 7 sekolah yang berkualitas.
Terkait dengan biaya yang diakuinya relatif besar, tentu pihaknya akan berbicara kepada pemerintah daerah dan orangtua siswa.
"Kita menyambut positif, tetapi ruh daripada RSBI yang kemarin dibuat, kita tetap gunakan kebijakannya. Dalam artian pendidikan yang berkualitas, dengan upaya kerjasama dengan semua pihak," ujarnya.
Menurutnya orientasi ke depan harus lebih kepada pendidikan yang berkualitas dan berkarakter bangsa. Tidak hanya menitikberatkan kepada wajib belajar saja, karena itu sudah mutlak.
Kepala SMAN 1 Kota Jambi yang juga berstatus RSBI Nurhamid Hadi mengatakan, keputusan yang dikeluarkan MK patut dihormati dan bernilai positif.
Menurutnya keputusan MK sudah berdasarkan pertimbangan yang cukup matang sebelumnya. Namun menurutnya tentu ada implikasinya terutama terhadap pendanaan yang sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Yang penting menurut saya sekolah tetap fokus pada komitmen mutu pendidikan. Tidak masalah RSBI dihilangkan yang penting sekolah sudah berkomitmen fokus pada mutu," ungkapnya per telepon, Selasa (8/1).
Nurhamid mengakui selama ini masyarakat sudah memberikan label bahwa RSBI memang sekolah anak-anak orang kaya. Padahal menurutnya RSBI lebih mengutamakan siswa yang mempunyai keterampilan dan berkemampuan lebih.
Menurutnya dengan penghapusan RSBI diharapkan sekolah bisa mengakomodir siswa dari masyarakat yang mampu maupun kurang mampu.
Menurut Nurhamid, SMAN 1 Kota Jambi yang memiliki 635 siswa akan menunggu regulasi dari pemerintah untuk menyesuaikan dengan sekolah-sekolah lainnya.
Jadi sekolah biasa
Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan sekitar 1.300 sekolah berstatus RSBI pada sekolah-sekolah pemerintah.
MK mengembalikan RSBI menjadi sekolah biasa dengan pertimbangan RSBI menimbulkan dualisme pendidikan, adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non-RSBI/SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Namun ada seorang Hakim Konstitusi yang tetap mendukung RSBI dengan memberi dissenting opinion, yakni Achmad Sodiki. Sodiki menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari kebanyakan anggota majelis hakim. Menurut Sodiki, tidak ada satu pun kata dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai pemerintah telah melanggar UUD 1945.
"Juga tidak ada kata dalam pasal tersebut yang dapat dimaknai liberalisasi, diskriminasi, atau hal yang menyinggung jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia," kata Sodiki di gedung MK, Selasa (8/1).
Tidak didapati unsur dalam Pasal 50 ayat 3 yang dapat dimaknai menimbulkan dualisme pendidikan, karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional juga. Menurutnya, jika saat ini ada upaya yang lebih serius mengajarkan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, itu tidak terlepas praktek pengajaran bahasa asing selama ini kurang berhasil.
"Berapa ribu mahasiswa di perguruan tinggi walaupun telah belajar bahasa Inggris selama enam tahun sejak SMP dan SMA, tetap saja tidak menguasai bahasa asing dengan baik," ujar Sodiki.
Pembubaran RSBI/SBI itu disampaikan MK dalam sidang putusan pembatalan Pasal 30 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1).
"Mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan alam sidang di Gedung MK. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal Pasal 30 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sidiknas itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK berpendapat sekolah bertaraf internasional di sekolah pemerintah itu bertentangan dengan UUD 1945, RSBI menimbulkan dualisme pendidikan, kemahalan biaya menimbulkan adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non RSBI/SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Pertimbangan selanjutnya, yakni penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam sekolah RSBI/SBI dinilai dapat mengikis jati diri bangsa, melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
"Pendidikan nasoional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jati diri bangsa. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI/SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," ujar Akil Mochtar saat membacakan membacakan putusan.
RSBI/SBI ini digugat oleh sejumlah orang tua murid, dosen, dan aktivis pendidikan seperti ICW. Para penggugat menamakan diri Koalisi Anti-komersialisasi Pendidikan (KAKP). Mereka sempat berunjuk rasa 28 November 2011, KAKP mendesak MK mengeluarkan provisi agar kegiatan sekolah RSBI di seluruh Indonesia dihentikan sampai ada putusan final dan mengikat.
Mereka menilai RSBI/SBI rentan penyelewengan dana, menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi pendidikan, serta mahalnya biaya pendidikan.
Mereka juga menyerahkan naskah gugatan terhadap rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
Kepala SMPN 7 Kota Jambi yang berstatus RSBI Budiyanto memberikan respon positif atas keputusan MK. Menurutnya ke depan sekolah RSBI tidak hanya mengacu kepada standar sekolah tertentu.
"Kalau saat ini memang benar hanya beberapa sekolah yang dibina secara khusus untuk menuju ke taraf internasional, seharusnya semua sekolah seperti itu," katanya.
Menurutnya RSBI memang bisa dikatakan menyalahi konstitusi, karena hanya beberapa sekolah. "Ini menjadi PR berat bagi pemerintah melalui kemendiknas," ujarnya.
Disampaikan Budiyanto, SMPN 7 yang memilki 903 siswa tetap menunggu arahan dari kemendiknas.
Tetapi menjelang datangnya petunjuk teknis, dia berkomitmen untuk menjadikan SMPN 7 sekolah yang berkualitas.
Terkait dengan biaya yang diakuinya relatif besar, tentu pihaknya akan berbicara kepada pemerintah daerah dan orangtua siswa.
"Kita menyambut positif, tetapi ruh daripada RSBI yang kemarin dibuat, kita tetap gunakan kebijakannya. Dalam artian pendidikan yang berkualitas, dengan upaya kerjasama dengan semua pihak," ujarnya.
Menurutnya orientasi ke depan harus lebih kepada pendidikan yang berkualitas dan berkarakter bangsa. Tidak hanya menitikberatkan kepada wajib belajar saja, karena itu sudah mutlak.
Kepala SMAN 1 Kota Jambi yang juga berstatus RSBI Nurhamid Hadi mengatakan, keputusan yang dikeluarkan MK patut dihormati dan bernilai positif.
Menurutnya keputusan MK sudah berdasarkan pertimbangan yang cukup matang sebelumnya. Namun menurutnya tentu ada implikasinya terutama terhadap pendanaan yang sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Yang penting menurut saya sekolah tetap fokus pada komitmen mutu pendidikan. Tidak masalah RSBI dihilangkan yang penting sekolah sudah berkomitmen fokus pada mutu," ungkapnya per telepon, Selasa (8/1).
Nurhamid mengakui selama ini masyarakat sudah memberikan label bahwa RSBI memang sekolah anak-anak orang kaya. Padahal menurutnya RSBI lebih mengutamakan siswa yang mempunyai keterampilan dan berkemampuan lebih.
Menurutnya dengan penghapusan RSBI diharapkan sekolah bisa mengakomodir siswa dari masyarakat yang mampu maupun kurang mampu.
Menurut Nurhamid, SMAN 1 Kota Jambi yang memiliki 635 siswa akan menunggu regulasi dari pemerintah untuk menyesuaikan dengan sekolah-sekolah lainnya.
Jadi sekolah biasa
Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan sekitar 1.300 sekolah berstatus RSBI pada sekolah-sekolah pemerintah.
MK mengembalikan RSBI menjadi sekolah biasa dengan pertimbangan RSBI menimbulkan dualisme pendidikan, adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non-RSBI/SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Namun ada seorang Hakim Konstitusi yang tetap mendukung RSBI dengan memberi dissenting opinion, yakni Achmad Sodiki. Sodiki menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari kebanyakan anggota majelis hakim. Menurut Sodiki, tidak ada satu pun kata dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai pemerintah telah melanggar UUD 1945.
"Juga tidak ada kata dalam pasal tersebut yang dapat dimaknai liberalisasi, diskriminasi, atau hal yang menyinggung jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia," kata Sodiki di gedung MK, Selasa (8/1).
Tidak didapati unsur dalam Pasal 50 ayat 3 yang dapat dimaknai menimbulkan dualisme pendidikan, karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional juga. Menurutnya, jika saat ini ada upaya yang lebih serius mengajarkan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, itu tidak terlepas praktek pengajaran bahasa asing selama ini kurang berhasil.
"Berapa ribu mahasiswa di perguruan tinggi walaupun telah belajar bahasa Inggris selama enam tahun sejak SMP dan SMA, tetap saja tidak menguasai bahasa asing dengan baik," ujar Sodiki.
Pembubaran RSBI/SBI itu disampaikan MK dalam sidang putusan pembatalan Pasal 30 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1).
"Mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan alam sidang di Gedung MK. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal Pasal 30 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sidiknas itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK berpendapat sekolah bertaraf internasional di sekolah pemerintah itu bertentangan dengan UUD 1945, RSBI menimbulkan dualisme pendidikan, kemahalan biaya menimbulkan adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non RSBI/SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Pertimbangan selanjutnya, yakni penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam sekolah RSBI/SBI dinilai dapat mengikis jati diri bangsa, melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
"Pendidikan nasoional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jati diri bangsa. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI/SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," ujar Akil Mochtar saat membacakan membacakan putusan.
RSBI/SBI ini digugat oleh sejumlah orang tua murid, dosen, dan aktivis pendidikan seperti ICW. Para penggugat menamakan diri Koalisi Anti-komersialisasi Pendidikan (KAKP). Mereka sempat berunjuk rasa 28 November 2011, KAKP mendesak MK mengeluarkan provisi agar kegiatan sekolah RSBI di seluruh Indonesia dihentikan sampai ada putusan final dan mengikat.
Mereka menilai RSBI/SBI rentan penyelewengan dana, menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi pendidikan, serta mahalnya biaya pendidikan.
Mereka juga menyerahkan naskah gugatan terhadap rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
Sumber Tribun jambi
0 komentar:
Posting Komentar