TB Indonesia News – Apia, ibukota Samoa, tak terlelap
malam itu. Langkah ribuan manusia berderap di jalan, ditingkahi derum
kendaraan yang melaju di atas aspal. Ia menjadi saksi lautan manusia
menyemut di sekitar menara jam besar berwarna putih, semacam tugu
mengenang mereka yang tewas dalam Perang Dunia I.
Semua mata tertuju pada jarum jam, yang terasa berdetak lambat malam
itu. Saat tengah malam terlewati, suara sorakan pun pecah. Orang
berteriak, bertepuk tangan, saling berpelukan. Kembang api ditembakkan
ke angkasa. Bunyi serempak klakson mobil, motor, dan kendaraan polisi
memekakan telinga, bercampur raungan sirine pemadam kebakaran dan
ambulans.
Itu bukan perayaan tahun baru. Kala itu Apia menjadi saksi sebuah
momentum perubahan. Dentang jam di tengah malam mengakhiri tanggal 29
Desember 2011. Sekaligus sebuah lompatan, di mana 186.000 rakyat
langsung memasuki tanggal 31 Desember 2011. Tanggal 30 Desember 2011
dianggap tak pernah ada.
“Orang-orang Samoa tidur Kamis malam, dan terbangun di hari Sabtu. 30
Desember 2011 adalah hari yang tak dianggap. Kasihan mereka yang
berulang tahun atau memperingati sesuatu di hari itu,” kata saksi
sejarah, Stefany Anne Golberg, seperti dimuat Boston.com. Negeri tetangga, Tokelau yang hanya berpenduduk 1.500 orang juga mengambil kebijakan yang sama.
Sejak saat itu, Samoa yang di masa lalu hanya berbeda tiga jam dari
waktu Kalifornia, dan selisih 21 jam dari Australia, berbalik. Kini, ia
hanya tiga jam lebih awal dari waktu bagian timur Australia, dan beda 22
jam dari Kalifornia.
Sebelumnya, selama 119 tahun, Samoa lebih dekat dari segi waktu
dengan Amerika Serikat, setelah sekelompok pedagang AS mendekati raja
Samoa, membujuknya untuk menyamakan waktu dengan Samoa Amerika -- yang
dikuasai AS, dengan iming-iming kemajuan perdagangan. Kala itu Samoa
merayakan Kemerdekaan AS tanggal 4 Juli selama dua kali, sebagai bentuk
penghormatan.
Keputusan kontroversial diambil pemerintah Mei tahun lalu. Salah satu
pertimbangan, dengan berlalunya waktu, Australia dan Selandia Baru
justru menjadi mitra dagang terpenting mereka.
Perdana Menteri Samoa, Tuila'epa Sailele Malielegaoi mengatakan,
mulai 29 Desember 2011, mereka bisa bekerja lima hari, dengan ritme yang
sama dengan Australia dan Selandia Baru.
Tak seperti dulu. "Ketika di sini hari Jumat, Selandia Baru sudah
memasuki Sabtu. Saat kami pergi ke gereja di hari Minggu, mereka yang
berada di Sydney dan Brisbane sudah memulai bisnis," kata Malielegaoi.
"Kita juga harus ingat 90 persen warga berimigrasi ke Selandia Baru
dan Australia. Ini mengapa, sangat vital untuk membuat perubahan ini,"
kata Malielegaoi.
Akibat keputusan ini, para pegawai pemerintah sibuk mengubah peta,
grafik, dan atlas untuk menyesuaikan perubahan waktu. Sebuah perangko,
dengan frasa "menuju masa depan" dicetak menandai momentum istimewa itu.
Meski disambut gembira rakyat Samoa, perubahan waktu ini bukannya tak
membawa masalah. Dijicel, penyedia layanan telekomunikasi paling
populer di Samoa terpaksa harus memperbarui sistemnya gara-gara lompatan
waktu itu, telepon genggam sama sekali tak bisa digunakan selama 15
menit.
Kabar baiknya, meski secara teknis, setelah hari Kamis menjadi Sabtu, para pekerja tetap dibayar untuk hari Jumat.
Rusia, sapi ikut stres
Di Rusia, meski tak perlu
membunuh tanggal seperti halnya di Samoa, tapi negeri daratan terbesar
di dunia itu pernah “menantang” waktu pada 28 Maret 2010.
Demi efisiensi dan efektifitas, Rusia mengurangi zona waktu, dari 11 menjadi 9.
“Ini
memungkinkan kita untuk menyelesaikan persoalan transportasi dan
komunikasi. Meningkatkan daya kelola dan kekuatan posisi Rusia sebagai
sebuah rantai penting dalam infrastruktur global," kata Presiden Rusia
saat itu, Dmitry Medvedev, seperti dimuat CNN.
Secara singkat bisa dijelaskan, lima wilayah di Rusia Eropa dan tiga
lainnya di Siberia -- tak akan bergabung dengan kawasan lainnya,
memajukan jarum jam satu jam ke depan untuk saat waktu musim panas atau daylight saving time (DST).
Bagi Aman Tuleyev, gubernur wilayah pertambangan batu bara di
Siberia, Kemerovo, itu adalah kabar baik. Rusia tak perlu punya zona
waktu sebanyak itu. “Bayangkan, untuk berpergian sekitar 100 mil ke kota
tetangga, Anda harus memundurkan jam tangan sejam. Lalu membalikkannya
ke posisi semula saat pulang. Ini menciptakan kebingungan yang tak
penting, baik bagi para pebisnis maupun masyarakat awam," kata dia.
Namun tak semua senang dengan keputusan ini.
Warga Samara, kota terdekat dengan Moskow justru tertekan. Mereka
turun ke jalan melakukan protes. Ribuan orang menandatangani petisi
penolakan.
Kebijakan pemerintah federal membuat warga cemas. Sebab,
aturan baru membuat Samara akan melihat matahari terbenam satu jam
sebelumnya. Ini akan berimbas pada melonjaknya tagihan listrik,
sekaligus angka kejahatan di jalanan.
Para aktivis menuding, keputusan pemerintah akan menjerumuskan mereka
ke masa depan yang lebih gelap. "Di musim dingin, anak-anak akan
pulang ke rumah dalam situasi gelap. Sementara bagi orang dewasa, kami
tak akan melihat cahaya matahari usai kembali dari bekerja," kata salah
seorang aktivis.
Sejak 1 September 2011, Rusia juga secara resmi menghapus waktu musim
panas (DST). Dalam prakteknya, di musim panas waktu akan dimundurkan
satu jam karena matahari bersinar lebih panjang. Aturan ini diterapkan
di negeri itu sejak 1981.
Tak hanya memicu protes, kebijakan baru pemerintah juga punya dampak
lain. Salah satu pejabat bidang energi Rusia, pengurangan DLT akan
meningkatkan konsumsi energi sebanyak 4,5 miliar KW per jam. Atau dengan
kata lain, menimbulkan pengeluaran ekstra sebesar US$85 juta.
Perhitungan itu dibantah ekonom Kremlin, Arkady Dvorkovich.
Berdasarkan penelusuran, kata dia, konsumsi energi hanya meningkat 1-3
persen. Efek negatif dari perubahan waktu justru lebih buruk justru dari
sisi manusia. "Soal energi bisa diabaikan," kata dia. "Kesehatan
masyarakat dan kestabilan ritme biologis adalah faktor yang lebih
penting.”
Bagi manusia, kata para ahli, perubahan waktu akan memperparah stres,
yang berujung pada kecelakaan di tempat kerja maupun lalu lintas. Hal
lain, adalah soal kesehatan hingga penyakit kronis. "Laporan menyebut,
lima hari pertama paska perubahan waktu, jumlah permintaan ambulans
untuk pasien darah tinggi dan serangan jantung naik hingga 11 persen,”
kata ilmuwan Sergei Kravchenko kepada sebuah mingguan populer Rusia.
“Kasus percobaan bunuh diri di hari-hari tersebut meningkat menjadi 60
persen.”
Tak hanya bagi manusia, perubahan waktu juga membuat kesejahteraan
hewan ternak jadi taruhan. Soalnya mereka diberi makan dan diperah di
waktu yang berbeda dengan biasanya.
Dampak ke binatang ternak sebelumnya pernah disinggung Presiden
Medvedev. Soal “sapi yang tak bahagia atau binatang lain yang tak
memahami perubahan waktu, akan kebingungan karena gadis pemerah susu
mengambil susu mereka di waktu yang berbeda”.
Satu waktu di China
Sejarah mencatat, penanggalan dan standar waktu secara umum ditentukan dalam Konferensi Meridian Internasional tahun 1884.
Kala itu disetujui, sehari terdiri dari 24 jam, diawali tengah malam
di bujur 0 derajat Greenwich. Juga ditetapkan, setiap 15 derajat garis
bujur, selisih waktunya adalah satu jam. Jadi, ada 24 daerah waktu di
dunia – berdasarkan perhitungan kecepatan rotasi bumi, lingkaran bola
bumi, dan lama rotasi bumi.
Hitungannya, besar lingkaran bola bumi adalah 360 derajat. Sekali
putaran penuh dibutuhkan waktu 24 jam. Dengan demikian, setiap jam bumi
berputar sejauh 15 derajat.
Namun, selama bertahun-tahun ada banyak negara yang mengabaikan
aturan internasional ini. Mereka mengatur waktu sekena hati dengan
banyak alasan: menegaskan identitas nasional, koneksi politik, maupun
menyamakan waktu dengan negara berbatasan. Beberapa mendasarkan pada
posisi matahari.
Salah satunya China. Meski luas wilayahnya meliputi bentangan
geografis setara dengan lima zona waktu, China hanya punya satu: waktu
Beijing, 8 jam lebih maju dari Greenwich Mean Time (+8 GMT).
Sebelum Perang Saudara 1949 dan pembentukan Republik Rakyat China
yang berhaluan komunis, China dibagi menjadi lima zona waktu. Dari timur
ke barat, ada zona waktu Changpai, Chungyuan, Kansu-Szechuan,
Sinkiang-Tibet, dan Kunlun.
Akibatnya, di China barat misalnya, matahari tidak akan naik sampai
pukul 10.00 pagi. Awalnya tak ada yang mempermasalahkan hal ini. Sebab,
sebagian besar masyarakat China bekerja di sektor agraris. Mereka tak
melihat jam, melainkan memantau aktivitas matahari. Di era modern,
daripada kebingungan, masyarakat China biasa membuat patokan waktu
sendiri, selain zona waktu yang ditetapkan pemerintah.
"Perubahan waktu bisa membuat catatan sejarah menjadi membingungkan,
dan memicu sakit kepala dalam penanganan sejumlah kasus hukum. Namun,
kebanyakan orang tak menyadarinya dan merasakan dampaknya,” kata
Rebekah Higgitt, kurator sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi di Royal
Observatory di Greenwich, seperti dimuat BBC.
Sumber : VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar