Umpama pepatah menyatakan bahwa siapa yang
menabur angin tentu ialah yang akan menuai badai. Ungkapan itu menjadi tolak
ukur bagi sebuah kehidupan Si Pecinta dalam mengarungi bahtera cintanya. Karena
dalam laut cinta yang tiada ujung-pangkalnya mau tidak mau dan suka tidak suka
tentu yang mesti dihadapi adalah gelombang badai dan juga mungkin riak
gelombang. Kalau hanya riak gelombang tentu para Pecinta dapat menahannya
dengan berbagai cara yang dapat menyelamatkan. Akan tetapi apabila badai yang
melambung dan akan menengelamkan tentu yang terjadi adalah sebuah “persakitan”
yang mesti ditemui.
Ya, benar pepatah menyatakan, kalau takut
dilambung ombak, maka jangan berumah ditepi pantai. Dan siapa yang takut dengan
gelombang badai cinta di samudera jiwa maka bersiaplah untuk “minggat” sebelum
terjadi.
Memang sangat berbeda dalam simbolistik dan
substantif antara badai yang menghadang Si Pecinta yang berlandas pada bentuk
simbolistik seperti kecantikan, kemolekan, keindahan dan ketampanan. Dan kalau
secara substansi yang bersifat dalam kata : “Walaupun…aku cinta”. Ini
telah memasuki wilayah cinta-kasih yang berlandaskan atas rasionalitas,
kedewasaan serta bimbingan Ilahi. Maka apabila ia tenggelam di samudera cinta,
ia akan tetap kokoh hatinya menghadapi terpaan badai dan gelombang cinta. Ya…umpama batu
karang di lautan luas.
Dan
sangat berbeda dengan cinta hanya cinta, ia selalu mendengungkan kalimat: “Karena
ia…aku cinta”, apabila simbolistik yang berupa kecantikannya telah pudar,
popularitaritasnya telah hilang, keindahannya telah habis, maka cintapun pudar
dan tak lagi bersemi di taman hati.
Inilah yang akan mendendangkan senandung
sunyi para korban cinta syahwati yang dipanaskan dari “air birahi”. Karena
terpaan badai cinta telah membuat samudera jiwanya terbawa arus gelombang “tsunami
cinta” hingga harus menjadi bangunan hati yang porak-poranda dan mayat cinta
yang bergelimpangan.
Dan
apabila larut dalam nestapa cinta tentu tiada kebaikkan yang dapat dibawa untuk
mengarungi kehidupan yang lebih panjang lagi. Hanya sendu kepiluanlah yang
selalu menjelma di lubuk hati yang kian terkoyak, hanya nyanyian sunyi
kepedihan yang bersenandung dalam mimpi kepiluan hati. Dan habislah “energi
cinta” untuk mengarungi sesuatu kehidupan dan cinta yang tidak abadi.
A Inspiration of the book "Musafir Cinta di
Taman Fata Morgana"...
Masterpiece Two People of Putra Kerinci...
0 komentar:
Posting Komentar